Langsung ke konten utama

Audit Stunting Brebes: Kepingan yang Hilang dari Penanganan Stunting

dr. Krisna Adhi Nugraha, Sp. A

Tim Pakar Dokter Spesialis Anak Kabupaten Brebes

Program Pendidikan Dokter Spesialis 1 Ilmu Kesehatan Anak, Universitas Sriwijaya Palembang

“Audit Stunting Brebes: Kepingan yang Hilang dari Penanganan Stunting”


Dalam acara Diseminasi Hasil Audit Stunting kedua, rektor dari sebuah perguruan tinggi di Brebes bertanya: Apakah efektif melibatkan banyak elemen masyarakat? Karena akan ada potensi tumpang tindihnya intervensi dengan melibatkan lebih banyak pihak.

Misalnya dalam pemberian makanan tambahan. Apakah sepenuhnya menjadi tanggung jawab Dinas Kesehatan, ataukah ditanggung sebagian melalui dana desa, atau apakah perlu keterlibatan pihak ketiga melalui gerakan Bapak Asuh Anak Stunting (BAAS)?



Sebab tidak semua intervensi stunting harus berupa pemberian makanan. Bertumpuknya intervensi yang serupa jelas merupakan pemborosan dari sumber daya yang sedari awal sudah terbatas. Jadi apabila kita berharap semua elemen di masyarakat bergerak bersama, maka tantangannya: Bagaimana menjaga keteraturan semua pihak yang terlibat? Sebab sebagaimana sebuah orkestra besar, diperlukan dirigen handal agar tercipta harmoni.


Stunting Masalah Semua Orang, Tapi Bukan Tanggung Jawab Siapapun


Bertumpuknya intervensi yang seragam tidak hanya mubazir, melainkan menimbulkan fenomena lain: Stunting jadi masalah semua orang, tapi tanpa penanggung jawab. Semua elemen masyarakat merasa sudah memberikan sumbangan terbaiknya, namun perkara hasil bukan menjadi urusan mereka.

Padahal dalam rentang waktu yang sangat singkat, seharusnya kita tidak hanya sekadar bicara kuantitas, melainkan kualitas serta dampak intervensi yang dikerjakan terhadap penurunan angka stunting.


Memastikan ketepatan intervensi tersebut tidak hanya penting bagi tenakes, melainkan juga untuk semua pihak. Sebab informasi keberhasilan intervensi tentu akan menjadi dukungan moral yang besar, yang boleh jadi akan jadi titik penentu keberhasilan.


Drama Seputar Stunting


Dalam kacamata penulis, penanganan stunting tidak pernah terlalu sulit. Yang jadi masalah justru mengatasi drama-drama di seputar keluarganya. Misal dalam satu kasus baduta dengan severe stunted, kedua orang tuanya ternyata dalam proses perceraian. Atau dalam kasus lainnya, ada satu baduta severe stunted yang tinggal di dalam sebuah rumah kecil yang ditinggali bersama oleh 5 keluarga.


Dalam kasus pertama, bagaimana mungkin si ibu bisa menjalankan program makan yang dianjurkan, apabila ia sendiri akan segera kehilangan sosok pencari nafkah? Pun jelas tidak mungkin mengharapkan kondisi hygene sanitasi yang baik, apabila satu rumah sempit harus dihuni begitu banyak orang?

Maka tidak semua kasus stunting memerlukan pemberian makanan tambahan. Boleh jadi mendatangkan seorang konselor pernikahan lebih bermanfaat, atau rupanya bantuan perumahan layak huni lebih tepat guna.


Di sisi lain stunting masih dipandang sebelah mata, karena si anak bisa saja terlihat tak bergejala, apalagi tinggi badan yang kurang acapkali disangkal sebagai masalah “keturunan” alih-alih masalah gizi. Sehingga di sebagian kasus, dalam pandangan orang tua masih banyak hal yang lebih mendesak untuk diurus ketimbang panjang badan anaknya.


Mengejar Hantu Bernama Stunting


Saat mendapati pasien dengan kondisi stunted/ severe stunted, beberapa pemeriksaan akan dikerjakan dokter anak, tujuannya membedakan mana anak yang stunting dan bukan.

Proses pemeriksaan ini bisa mudah, namun kadang memerlukan beberapa tahapan. Misalnya dokter akan melakukan penelusuran TB paru, kecacingan/ masalah infeksi lain. 


Masalahnya hasil penelusuran oleh dokter ahli tadi tidak diintegrasikan dalam satu data yang bisa diakses seluruh tim. Komunikasi yang terjadi dari dokter ahli anak kepada tim teknis saja seringkali bersifat satu arah: Dokter menuliskan surat rujukan balik ke Puskesmas, namun tidak mengetahui lagi bagaimana kelanjutannya.


Anak-anak yang teridentifikasi sebagai anak perawakan pendek bukan stunting, boleh jadi pada periode pengukuran antropometri berikutnya kembali masuk ke dalam data sebagai anak stunting, karena hasil pemeriksaan dokter anak tidak disinkronkan dalam bank data yang ada. Tidakkah situasi macam ini bagaikan sedang mengejar hantu?


Titik Kritis Penanganan Stunting


Hal yang penulis nilai sebagai kepingan yang hilang dalam upaya besar penanganan stunting adalah: Bagaimana cara mengetahui rangkaian intervensi yang kita lakukan sudah memberi dampak? Misalkan saja:

  1. Bagaimana cara sebuah puskesmas mengetahui berapa banyak baduta dientaskan dari stunting dalam tempo 6 bulan terakhir? 

  2. Berapa banyak dari baduta tadi yang sudah dilakukan intervensi spesifik maupun nonspesifik?

  3. Apa dampak dua jenis intervensi tadi terhadap penurunan angka stunting?


Di sini penulis menyadari perlunya keberadaan “satu data bersama”. Data yang dikompilasi bukan hanya dari hasil penilaian tenaga kesehatan saja, melainkan seluruh pihak yang dilibatkan, sesuai dengan kredensial masing-masing. Sebagai contoh:

  1. Data antropometri baduta dari Posyandu/ Puskesmas,

  2. Hasil konsultasi baduta/ balita yang dikirim ke dokter ahli anak di rumah sakit,

  3. Kondisi keluarga dan tempat tinggal baduta/ balita stunting dari tim teknis,

  4. Tindak lanjut yang sudah dikerjakan oleh tim teknis, perangkat desa, maupun dinas terkait,

  5. Hasil pengukuran antropometri ulang baduta/ balita pasca intervensi, dan lain-lain.


Dengan keberadaan satu data bersama, intervensi-intervensi yang dikerjakan akan bersinergi satu sama lain, tidak tumpang tindih, tepat pada sasaran, dan didukung oleh bukti ilmiah yang sahih. Masing-masing elemen yang dilibatkan diwajibkan mencatat kemajuan intervensi yang mereka kerjakan dalam satu data bersama tadi, sehingga seluruh rangkaian proses bisa dievaluasi bersama dari hulu ke hilir secara efisien dan realtime.


Data Bersama yang Kokoh Sebagai Pondasi


Keberadaan data bersama ini diharapkan akan menjadi pemandu sekaligus alat bukti yang kuat. Di sisi lain, data bersama yang realtime akan sangat membantu kinerja semua pihak:

  1. Penilaian dan intervensi yang direkomendasikan oleh dokter anak bisa diakses oleh lebih banyak pihak sesuai dengan kredensialnya,

  2. Intervensi menjadi lebih tepat guna (pinpoint) dan tidak mubazir,

  3. Data yang lengkap dan presisi bisa menjadi sumber data primer yang baik untuk penelitian,

  4. Pihak-pihak yang memberikan bantuan (misal donatur BAAS) bisa memantau sendiri bagaimana kemajuan anak yang mereka bantu,

  5. Penanganan kasus sulit yang “banyak drama” menjadi lebih komprehensif, dan lain sebagainya.


Sebagai penutup, penulis sangat berbahagia dengan hadirnya banyak elemen dalam mewujudkan penurunan angka stunting. Namun semakin besar tim akan memunculkan masalah yang lebih besar tanpa adanya koordinasi dan komunikasi yang baik.

Dibutuhkan satu kepingan terakhir sebagai kendaraan bersama, agar berbagai elemen kemasyarakatan maupun dinas yang dilibatkan mampu bekerja dalam satu harmoni. Dan bagi penulis, tidak ada hal yang lebih penting sebagai kepingan terakhir tadi daripada keberadaan data yang sahih dan realtime


Keberadaan data bersama yang bersifat realtime diharapkan bisa menjadi game changer di sisa waktu yang amat terbatas ini. Semua demi mewujudkan stunting end game di Indonesia.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Vaksin Rotavirus: Melengkapi Perlindungan Anak Terhadap Diare

"Loh memangnya ada vaksin untuk diare ya?" sahut seorang ibu keheranan, "anak saya masih bisa diberikan vaksinnya nggak?" lanjutnya lagi. Bagi kebanyakan orang, diare identik dengan lingkungan yang kotor, jorok, kumuh. Maka saat seorang anak terkena diare padahal sudah tinggal di rumah yang terjaga bersih, muncul rasa heran. Diare Rotavirus tidak hanya menjadi masalah di Indonesia saja, tapi juga di negara-negara maju lainnya. Karena alasan itulah dikembangkan vaksin Rotavirus. Vaksin Rotavirus pertama di dunia dirilis tahun 1998. Seorang anak dengan diare sedang ditangani petugas Waktu Pemberian Vaksin Rotavirus Vaksin Rotavirus diberikan mulai usia 8 pekan (2 bulan) . Dosis vaksin Rotavirus bervariasi di antara merk vaksin. Ada yang membutuhkan dua dosis dan tiga dosis.  Yang menjadi masalah, masa pemberian vaksin ini terbatas. Usia maksimal pemberian dosis pertama adalah 14 pekan, dan vaksinasi sudah harus selesai diberikan pada usia 24 atau 32 pekan, tergantung ...

Vaksin Polio: Demi Terwujudnya Eradikasi Polio

Apa Itu Poliomielitis? Definisi: Poliomielitis (Polio) adalah penyakit infeksi sangat menular disebabkan oleh Poliovirus . Penyakit ini utamanya menyerang balita, ditularkan oleh orang ke orang melalui rute fekal-oral. Virusnya akan berkembang biak di usus, kemudian dapat menyerang sistem saraf dan menyebabkan kelumpuhan. Tanda dan Gejala: Sekitar 90% dari orang yang terinfeksi tidak bergejala atau mengalami gejala ringan, sehingga penyakit ini tidak dikenali. Pada sebagian orang mungkin muncul gejala demam, kelelahan, sakit kepala, muntah, kaku pada leher, dan nyeri pada tungkai. Seorang anak menderita kelumpuhan akibat Polio Pada sebagian kecil kasus, virus menyebabkan kelumpuhan, biasanya pada kaki dan kelumpuhannya bersifat permanen. Sekitar 5-10% penderita yang mengalami kelumpuhan akan terjadi kelumpuhan pada otot pernapasan yang bisa menyebabkan kematian . Komplikasi: Kecacatan permanen, meninggal dunia, sindrom Pascapolio. Penyakit Polio Tak Dapat Disembuhkan Hingga saat ini...

Vaksin Hepatitis B: Melindungi dari Gagal Hati

Vaksin Hepatitis B adalah vaksin yang pertama kali diberikan kepada anak, yaitu pada hari ia dilahirkan. Kenapa harus secepat itu diberikannya? Karena salah satu cara Hepatitis B ditularkan saat proses persalinan, baik itu persalinan spontan ataupun sesar . Infeksi Hepatitis B yang terjadi pada awal masa kehidupan ini sekitar 70-90% bisa menjadi kronis dan sebagian dari penderita Hepatitis B kronis akan mengalami Sirosis hati hingga berujung ke kanker hati. Waktu Ideal Pemberian Hepatitis B Hepatitis B diberikan sebanyak 5 kali dan idealnya diberikan segera setelah lahir (tentunya setelah pemberian vitamin K), sebelum bayi berusia 24 jam. Vaksin ini diberikan dengan cara disuntikkan di paha bayi, lazimnya tidak ada efek simpang yang terjadi. Ilustrasi bayi baru lahir Nah bagaimana kalau bayi sudah berusia lebih dari 24 jam namun belum diberikan vaksin Hepatitis B? Dalam kasus seperti ini, vaksin masih bisa diberikan namun tentu saja efek proteksinya tidak sebaik bayi yang diberikan ...